ihalmukatul.jpg

Home
Mengenai kami
Hubungi Kami
Kegiatan
Anggota KOMPA
Ngiklan Berantai
debat 'SEPUTAR NAMA ALLAH'
Kepengurusan KOMPA 2009 - 2010
Berita News
Lain-lain

Berita News

HAPPY EASTER


KESAKSIAN KEBANGKITAN PASKAH

Yesus bangkit dengan “tubuh lama yang telah diubahkan (ditransformasikan) menjadi baru” sehingga Ia bisa makan dan diraba, sekaligus bisa menghilang dan berpindah di luar tiga dimensi yang membatasi manusia. Kisah Para Rasul dan kitab-kitab sejarah pada abad-abad awal mencatat bahwa segera setelah kebangkitan Yesus, terjadi ledakan pekabaran Injil yang sangat fenomenal di Yudea dan meluas ke mana-mana.

Sejarawan abad pertama, Josephus, sekitar tahun 60-an, menulis  tentang Yesus yang mati disalibkan dan bangkit pada hari ketiga. 

“Sama seperti waktu ini, Yesus adalah seorang bijak, yang secara hukum bisa disebut orang. Karena Ia melakukan mukjizat-mukjizat, guru semacam itulah yang menerima kebenaran. Ia mengumpulkan banyak pengikut orang Yahudi dan kafir. Ia adalah Kristus. Ketika Pilatus, atas usul pemimpin Yahudi, menghukum-Nya untuk disalib, mereka yang mencintai-Nya tidak meninggalkan-Nya karena Ia menampakkan diri dalam keadaan hidup tiga hari kemudian, seperti yang dinubuatkan banyak nabi dan sepuluh ribu kejadian ajaib mengenai-Nya. Adapun suku Kristen, yang dinamakan dari nama-Nya, suku itu tidak lenyap sampai sekarang.” (Antiquities, XVIII, 3, 3).

Tokoh Jesus Seminar, John Dominic Crossan, dalam bukunya menganggap bahwa tulisan Josephus itu adalah penambahan yang dilakukan penulis Kristen generasi berikutnya yang kemudian menerjemahkan karya Josephus itu. Dalam bukunya ia lebih jauh mengatakan bahwa:

“Masalahnya adalah catatan Josephus terlalu bagus untuk bisa benar, terlalu bersifat pengakuan daripada pernyataan, dan terlalu bersifat Kristen daripada Yahudi.” (The Historical Jesus, The Life of a Mediterranean Jewish Peasant, 373)

Crossan anti-supranatural sehingga setiap data yang mendukung kebangkitan dianggap “ditambahkan oleh penyalin Kristen” dan kebangkitan yang disebutkan oleh Josephus maupun Injil kanonik dianggap tidak mungkin terjadi dan ditolak. Apalagi, ia sangat terobsesi dengan cerita mengenai kematian Yesus yang kemungkinan jasad-Nya tidak dikubur, tetapi menjadi makanan anjing dan binatang  pemangsa lainnya. Sebaliknya dapat juga disebut bahwa pandangan Crossan itu “terlalu bersifat anti-Kristen daripada Yahudi”.

Mengenai kebangkitan, sejarawan Romawi Cornelius Tacitus (ca-116) dengan nada sinis menyiratkan ‘kebangkitan’ sebagai ‘tahyul yang paling jahat’ tetapi mengakui menimbulkan ‘ledakan pekabaran Injil.’ Ia menulis,

“Nero melemparkan kesalahan dan melakukan penyiksaan yang hebat terhadap suatu kelas yang sangat dibenci, yang disebut orang-orang Kristen oleh penduduk. Kristus, dari nama itu sebutan Kristen itu berasal, menderita hukuman yang luar biasa selama pemerintahan Tiberius di tangan salah satu prokurator kita, Pontius Pilatus. Adapun takhayul yang paling jahat, yang dihentikan kala itu, sekali lagi pecah tidak hanya di Yudea, sumber pertama kejahatan itu, tetapi juga di Roma, yang menjadi pusatnya dan menjadi populer, semua yang tersembunyi dan memalukan dari seluruh dunia. Sehubungan dengan itu, penangkapan pertama-tama dilakukan atas semua yang dituduh bersalah. Setelah itu, dari informasi mereka, sejumlah besar orang kemudian dihukum, bukan karena kejahatan membakar kota, melainkan karena kebencian terhadap umat manusia. Segala macam cercaan ditimpakan atas kematian mereka. Dengan dibungkus kulit binatang, mereka dicabik-cabik oleh anjing-anjing dan binasa atau dipaku disalib atau dimasukkan ke dalam api dan terbakar, sebagai nyala yang menerangi malam hari bila sinar siang hari berakhir.” (Annals, XV, 44, 116 M)

Mengenai kesaksian Tacitus, Crossan juga menganggapnya sebagai tambahan penulis Kristen. Namun, banyak juga yang mendukung bahwa tulisan itu aslinya memang demikian. Apalagi, Tacitus menulis penganiayaan atas umat Kristen itu secara mendetail, termasuk tentang pembakaran Kota Roma oleh Nero. Adapun ungkapan “takhayul yang paling jahat”, itu jelas menyiratkan kebangkitan Yesus. Bila orang Kristen kemudian meralatnya, tentu hal itu tidak akan ditulis sebagai takhayul.

Berikut adalah beberapa gejala pasca-kebangkitan yang fenomenal, yaitu di sekitar aktivitas Kristen pada abad pertama.

  1. Terjadi perubahan hidup yang luar biasa dalam diri para murid.

Hal itu hanya mungkin terjadi kalau ada pendorong yang kuat, yaitu Yesus telah bangkit dan berkuasa mengubah hidup. Misalnya, Rasul Petrus yang semula ketakutan menghadapi orang-orang yang bertanya kepadanya sehingga ia menyangkali Yesus sampai tiga kali, berubah menjadi berani berbicara lantang di depan Mahkamah Agama (Kis.4). Rasul Paulus yang membunuh Stefanus (Kis.7:54–8:1a) berubah menjadi rasul kebangkitan (1Kor.15).

  1. Terjadi ledakan pekabaran Injil yang luar biasa ke mana-mana, dan Pekabaran Injil para murid itu bertumpu pada kesaksian kebangkitan Kristus (Kis.1:21–22;4:2,33;17:18,32;23:6; 24:15,21).

Ketika Yesus disalibkan, para murid ketakutan dan menutup diri di rumah. Namun, kebangkitan Yesus itu mengubah mereka menjadi berani dan tampil bersaksi, termasuk berbicara di Mahkamah Agama, seperti yang dilakukan oleh Petrus  (Kis.4).

  1. Para rasul rela mati bagi kesaksian kebangkitan itu.

Misalnya, ketika Polycarpus, murid Yohanes, menolak menyangkali Kristus dan menyembah kaisar, ia diikat di tiang kayu di atas pembakaran. Namun, ia berkata, “Selama 86 tahun Ia tidak pernah mengecewakan aku, bagaimana mungkin sekarang aku mengecewakan Dia!” Kematian Yesus tidak akan menghasilkan para martir, tetapi kebangkitan-Nya menghasilkan para martir yang rela berkorban tanpa melawan.

Kalau Yesus tidak bangkit dan kuburan-Nya ada di suatu tempat, di Talpiot misalnya, Mahkamah Agama Yahudi tentu tidak perlu repot-repot menyuap tentara Romawi sambil menebarkan dusta. Mereka cukup menunjukkan di mana Yesus dikuburkan, bukan?

Jika ada yang mengatakan bahwa Hitler juga memiliki banyak pengikut yang berani mati untuknya sama dengan para martir Kristus, faktanya jauh sekali. Para pengikut Hitler yang berani dan sadis pada saat menjalankan misi Hitler untuk membasmi orang lain (terutama Yahudi), ternyata semuanya kabur bersembunyi menyelamatkan diri  ketika Hitler bunuh diri. Berbeda dengan para pengikut Yesus, mereka bersembunyi ketika Yesus mati. Akan tetapi,  ketika Yesus bangkit, mereka keluar dan rela mati bagi Tuhan mereka yang telah bangkit. 

  1. Terjadi perubahan dari hari Sabat” (Sabtu) ke hari Tuhan(Minggu) sebagai pertemuan ibadat mingguan para murid.

Hari Sabat yang demikian teguh dipegang oleh tradisi Yahudi mengalami perubahan drastis menjadi hari pertama (Minggu), yaitu hari untuk mengenang kebangkitan Tuhan Yesus. Dalam tiga tahun pelayanan-Nya, Yesus berkali-kali disalahkan oleh pemimpin agama Yahudi karena dianggap melawan hari Sabat. Namun, faktanya kemudian adalah bahwa umat Kristen tidak lagi menjalankan hari Sabat segera setelah Yesus bangkit, yang diceritakan di dalam Kisah Para Rasul. Semua itu tentu hanya bisa terjadi karena fakta sejarah kebangkitan yang nyata secara kasatmata dan meyakinkan.

Meskipun “kebangkitan Yesus dari kematian” tidak dapat dibuktikan secara memuaskan menurut akal manusia yang terbatas, setidaknya banyak bukti sosiologis dan sejarah sudah menunjukkan kemungkinan terjadinya kebangkitan secara daging yang dialami Yesus. Dan, ketika kitab Injil, Kisah Rasul dan Surat-Surat Para Rasul ditulis, masih banyak saksi mata yang hidup yang meng’aminkan’ berita kebangkitan!

Selamat Hari Paskah karena Ia telah Bangkit!

Salam kasih dari Sekertari www.yabina.org   (ARTIKEL 056/2008)

THE PASSION OF THE CHRIST & THE GOSPEL OF JOHN

Hari-hari sekitar Jumat Agung dan Minggu Paskah, disalah satu stasiun TV diputar film ‘The Passion of the Christ’ dan ‘The Gospel of John,’ dua film yang dibuat di tahun yang sama yaitu tahun 2003. Film “The Passion of the Christ disutradarai bintang film tenar Mel Gibson, film mana mendapat pujian dari penginjil Billy Graham dan juga dari Paus (kemudian diralat oleh Paus melalui sekretarisnya). Film itu bukan saja diputar di gedung bioskop, melainkan juga di banyak gereja.

Berbeda dengan film-film yang menceritakan kehidupan Yesus secara lengkap, film The Passion hanya menyoroti pergumulan Yesus sejak di Taman Getsemani selama dua belas jam terakhir hidup-Nya, yaitu dari Getsemani ke Golgota melalui jalan salib (via dolorosa) yang diselingi beberapa flash back pengalaman semasa pelayanan Yesus.

Meskipun didukung petinggi Injili dan sesaat didukung petinggi Katolik Roma, film “The Passion of the Christ banyak dikritik karena bersifat anti-Yahudi dan sarat dengan adegan sadis. Sikap anti Yahudi memang terasa dalam film ini karena kebencian, kemarahan, bahkan ringan tangannya orang Yahudi bahkan para imam yang memukuli Yesus, dibuat dalam porsi yang jauh melebihi apa yang dicatat dalam Injil. Misalnya, sejak di Taman Getsemani, Yesus sudah dibuat babak belur dipukul para imam dengan luka-luka di sekujur tubuh-Nya dan salah satu mata-Nya lebam. Demikian juga penganiayaan sampai penyaliban Yesus yang dipaku di salib, peristiwa itu digambarkan dengan sangat sadis, sampai-sampai Chicago Sun Times menyebutnya “the most violent film.”

Soal porsi sadisme yang keterlaluan memang tidak lepas dari sutradara dan pemain yang mampu menjiwainya. Gibson populer terkenal sebagai sutradara dan pemain film action keras, serialnya ‘Mad Max’ diwakili ucapan dalam film itu: “They kill us, we kill them! Kill them! Kill!” Filmnya ‘Galipoli’ disebut Amazone.com sebagai “This brutally antiwar movie.” Debut sadismenya dilanjutkan dengan sukses dalam serial ‘Lethal Weapon.’ Belum lagi film-film ‘Braveheart, Ransom, & Patriot’ menunjukkan bakat sadisme Mel yang diluar batas.

Sebenarnya, film “The Passion of the Christ tidak bisa dikatakan sebagai film yang bersumber pada Alkitab sebab isinya didasarkan vision biarawati Katolik, Maria Agreda dan Anne Katherine Emmerich yang visiunnya dibukukan sebagai The Dolorous Passion of Our Lord Jesus. Selain ada bagian dalam film itu yang menyudutkan orang Yahudi, banyak juga adegan yang  berlawanan dengan data Injil, seperti Iblis yang menjawab doa Yesus di Getsemani,  Iblis yang ditampilkan berkali-kali dan Yudas yang dilempari batu oleh anak-anak yang kesetanan dan disaksikan Iblis, Simon Kireni mengaku tidak bersalah dan mengaku terpaksa mengangkut salib terhukum; Yesus diolok tentara sebagai ‘king of worms, mata penjahat yang disalibkan yang dipatuk burung, dan Mezbah Bait Allah digambarkan terbelah.

Dua jam film itu digunakan untuk menyoroti kesengsaraan Yesus yang berdarah-darah dan hanya tiga puluh detik yang digunakan untuk menyoroti Yesus yang bangkit. Ketika ditanya mengenai adegan sadis yang keterlaluan, Gibson tidak menjawab tentang kebenaran melainkan mengaku mendramatisir film itu untuk mendorong penonton sampai over the edge.

Tiga pemain film porno dilibatkan Mel dalam film ini. Untuk membuat film “The Passion of the Christ lebih realistis, peran Maria Magdalena yang dikesankan sebagai pelacur itu dimainkan bintang film porno, Monica Belluchi. Tepat kritik ‘wayoflife’ yang menyebut film ini: “intimately associated with the moral vileness of those involved in its production.” Sedangkan Yesus diperankan oleh James Caviezel yang sukses memerankan tokoh “The Count of Monte Christo” dimana di sana ia memerankan korban fitnahan, kemudian dipenjara 13 tahun dibawah tanah dipulau terpencil sambil dicambuki setiap tahun, dan akhirnya membalas dendam kepada semua musuhnya dengan tangan dingin dengan perencanaan matang.

Sayangnya, film “The Passion of the Christ menumbuhkan fanatisme dari sebagian umat Kristen, yang melebihi cinta mereka terhadap Injil, bahkan mempromosikan film sadis itu untuk semua umur, sesuatu yang disesalkan oleh banyak umat lainnya. Padahal, film yang mendatangkan untung luar biasa kepada Gibson itu, uangnya kemudian digunakan untuk membuat film sadis lainnya yang berjudul “Savage” (biadab), sebuah film keras yang dibintangi David Caradine yang terkenal dalam film serial “Kung Fu” dan film-film sadis lainnya seperti “Kill Bill”. Dalam salah satu episode film serial Kung Fu yang berjudul “The Deadly Manthis”, Caradine mengkritik orang Kristen ibarat “belalang sembah” yang bersikap berdoa sebelum membunuh. Mel Gibson sendiri sesudah filmnya itu sukses pernah ditangkap polisi karena mabuk dan mengisap narkoba, dan ketika ditangkap, ia mencaci maki polisi sebagai Yahudi!’

Di sisi lain, wakil perusahaan film itu sendiri sebenarnya mengaku dan berucap bahwa, “Their promotion to religious leaders as more in the interest of marketing than evangelism, a distinction evangelicals no longer recognize.” Terry Mattingly pada Film-Forum majalah Christianity Today mengatakan, “I have been fascinating by the lack of critical voices among conservative Protestants.”

Pada tahun yang sama (2003) juga dibuat film tentang Injil yang berjudul ‘The Gospel of John.’ Film ini dibuat dengan setia bahkan secara harfiah mengikuti setiap kata Injil Yohanes menurut ‘Good News Bible’ dan dijuluki: “This film is a faithful representation of that Gospel.” Dibandingkan film ‘The Passion’ yang banyak mengambil sumber non-biblical seperti visiun dan ungkapan jiwa sadistik pembuatnya, film ‘The Gospel of John’ setia pada isi Injil yang ayat-ayatnya dinarasikan oleh Christopher Plummer, pemeran Kapten dalam film ‘The Sound of Music.’ Dua fasal terakhir ‘The Gospel of John’ memberitakan Yesus yang bangkit” dan Film ini juga dibuat secara profesional pula.

Sayang film ‘The Gospel of John’ yang injili itu jauh kalah populer dengan film ‘The Passion’ yang apokrifal itu, dan tragis bahwa nyaris pendeta dan penginjil yang mempopulerkan ‘The Passion’ pada umumnya bungkam dengan kehadiran film ‘The Gospel of John.’ Bahkan, film ini nyaris diabaikan dalam kehidupan gereja dan gereja tidak memborong tiketnya, apalagi memutarnya di gedung gereja mereka. Seperti film “Jesus” dari Campus Crusade for Christ, yang memberitakan Injil Lukas selengkap mungkin, film “The Gospel of John” juga menggambarkan kehidupan Yesus seperti yang dicatat dalam Injil Yohanes. Film itu sebenarnya adalah film yang luar biasa, yang benar-benar memberitakan Injil dan diramu menurut sinematografi modern yang apik dan profesional. Bahkan, film itu nyaris memberitakan secara harfiah seluruh ayat Injil Yohanes.

Banyak pengkritik menyebut bahwa orang-orang Amerika sekarang sedang sakit karena terlalu banyak disuguhi film-film sinema maupun TV yang bersifat sadis semacam film laga “Smack Down.” Itulah sebabnya ketika seorang sutradara berjiwa ‘sadis’ membaca peluang itu, ia membuat film ‘drama religi’ yang bertema sadis (penyaliban) dan jadilah film “The Passion of the Christ” sehingga banyak ditonton orang karena meresonansikan isi hati penonton. Akibatnya ketika ada film yang lebih berbau Injil seperti ‘The Gospel of John” namun karena ‘tidak keras’ maka film itu dibiarkan berlalu begitu saja, padahal justru film terakhir inilah yang mencerminkan Injil Tuhan Yesus yang sebenarnya layak tonton bagi umat manusia segala usia.

Sudah tiba saatnya umat Kristen menjauhi film-film yang sadistik yang makin merangsang rasa sadisme yang terpendam dalam hati dan mulai membuka diri agar makin peka akan ‘damai sejahtera dan kasih Kristus’ melalui adegan-adegan film yang mereka tonton seperti film ‘The Gospel of John’ karena itulah berita ‘kabar baik Injil’ yang sebenarnya. Rasul Yohanes, penulis ‘The Gospel of John’ yang semula berperilaku sebagai ‘anak guruh’ itu, setelah bertemu Yesus disebut sebagai ‘Rasul Kasih.’

Salam kasih dari Sekertari www.yabina.org  (ARTIKEL 057/2008)