KESAKSIAN KEBANGKITAN PASKAH
Yesus bangkit dengan
“tubuh lama yang telah diubahkan (ditransformasikan) menjadi baru” sehingga Ia bisa makan dan diraba, sekaligus
bisa menghilang dan berpindah di luar tiga dimensi yang membatasi manusia. Kisah Para Rasul dan kitab-kitab sejarah pada abad-abad awal mencatat bahwa segera setelah
kebangkitan Yesus, terjadi ledakan pekabaran Injil yang sangat fenomenal di Yudea dan meluas ke mana-mana.
Sejarawan abad pertama, Josephus, sekitar tahun 60-an, menulis tentang Yesus yang mati disalibkan dan bangkit
pada hari ketiga.
Tokoh
Jesus Seminar, John Dominic Crossan, dalam bukunya menganggap bahwa tulisan
Josephus itu adalah penambahan yang dilakukan
penulis Kristen generasi berikutnya yang
kemudian menerjemahkan karya Josephus itu. Dalam bukunya ia lebih jauh mengatakan bahwa:
“Masalahnya adalah catatan Josephus terlalu bagus untuk bisa benar, terlalu bersifat pengakuan
daripada pernyataan, dan terlalu bersifat Kristen daripada Yahudi.”(The Historical Jesus, The Life of a Mediterranean
Jewish Peasant, 373)
Crossan anti-supranatural sehingga setiap data yang mendukung kebangkitan dianggap “ditambahkan oleh penyalin
Kristen” dan kebangkitan yang disebutkan oleh Josephus maupun Injil kanonik dianggap tidak mungkin terjadi dan ditolak.
Apalagi, ia sangat terobsesi dengan cerita mengenai kematian Yesus yang kemungkinan jasad-Nya tidak dikubur, tetapi menjadi
makanan anjing dan binatang pemangsa lainnya. Sebaliknya dapat juga disebut bahwa pandangan
Crossan itu “terlalu bersifat anti-Kristen daripada Yahudi”.
Mengenai
kebangkitan, sejarawan Romawi Cornelius
Tacitus (ca-116) dengan nada sinis menyiratkan ‘kebangkitan’ sebagai
‘tahyul yang paling jahat’ tetapi mengakui menimbulkan ‘ledakan pekabaran Injil.’ Ia menulis,
“Nero melemparkan kesalahan dan melakukan penyiksaan yang hebat terhadap suatu
kelas yang sangat dibenci, yang disebut orang-orang Kristen oleh penduduk. Kristus, dari nama itu sebutan Kristen itu berasal,
menderita hukuman yang luar biasa selama pemerintahan Tiberius di tangan salah satu prokurator kita, Pontius Pilatus. Adapun
takhayul yang paling jahat, yang dihentikan kala itu, sekali lagi pecah tidak hanya di Yudea, sumber pertama kejahatan itu,
tetapi juga di Roma, yang menjadi pusatnya dan menjadi populer, semua yang tersembunyi dan memalukan dari seluruh dunia. Sehubungan
dengan itu, penangkapan pertama-tama dilakukan atas semua yang dituduh bersalah. Setelah itu, dari informasi mereka, sejumlah
besar orang kemudian dihukum, bukan karena kejahatan membakar kota, melainkan karena kebencian terhadap umat manusia. Segala
macam cercaan ditimpakan atas kematian mereka. Dengan dibungkus kulit binatang, mereka dicabik-cabik oleh anjing-anjing dan
binasa atau dipaku disalib atau dimasukkan ke dalam api dan terbakar, sebagai nyala yang menerangi malam hari bila sinar siang
hari berakhir.” (Annals, XV, 44, 116 M)
Mengenai
kesaksian Tacitus, Crossan juga menganggapnya
sebagai tambahan penulis Kristen. Namun,
banyak juga yang mendukung bahwa tulisan itu aslinya memang demikian. Apalagi, Tacitus menulis penganiayaan atas umat Kristen
itu secara mendetail, termasuk tentang pembakaran Kota Roma oleh Nero. Adapun ungkapan “takhayul yang paling jahat”,
itu jelas menyiratkan kebangkitan Yesus.
Bila orang Kristen kemudian meralatnya, tentu hal itu tidak akan ditulis sebagai ‘takhayul.’
Berikut
adalah beberapa gejala pasca-kebangkitan
yang fenomenal, yaitu di sekitar aktivitas Kristen pada abad pertama.
- Terjadi perubahan hidup yang luar biasa dalam diri para murid.
Hal itu hanya mungkin terjadi kalau ada pendorong yang kuat, yaitu Yesus telah bangkit dan berkuasa mengubah hidup.
Misalnya, Rasul Petrus yang semula ketakutan menghadapi orang-orang yang bertanya kepadanya sehingga ia menyangkali Yesus
sampai tiga kali, berubah menjadi berani berbicara lantang di depan Mahkamah Agama (Kis.4). Rasul Paulus yang membunuh Stefanus
(Kis.7:54–8:1a) berubah menjadi rasul kebangkitan (1Kor.15).
- Terjadi ledakan
pekabaran Injil yang luar biasa ke mana-mana, dan Pekabaran Injil para murid itu bertumpu pada kesaksian kebangkitan Kristus
(Kis.1:21–22;4:2,33;17:18,32;23:6; 24:15,21).
Ketika Yesus disalibkan, para murid ketakutan dan menutup diri di rumah. Namun, kebangkitan Yesus itu mengubah mereka
menjadi berani dan tampil bersaksi, termasuk berbicara di Mahkamah Agama, seperti yang dilakukan oleh Petrus (Kis.4).
- Para rasul rela
mati bagi kesaksian kebangkitan itu.
Misalnya, ketika Polycarpus, murid Yohanes, menolak menyangkali Kristus dan menyembah kaisar, ia diikat di tiang kayu di atas pembakaran. Namun, ia berkata, “Selama
86 tahun Ia tidak pernah mengecewakan aku, bagaimana mungkin sekarang aku mengecewakan
Dia!” Kematian Yesus tidak akan menghasilkan para martir, tetapi kebangkitan-Nya
menghasilkan para martir yang rela berkorban tanpa melawan.
Kalau Yesus tidak bangkit dan kuburan-Nya ada di suatu tempat, di Talpiot misalnya, Mahkamah Agama Yahudi tentu tidak
perlu repot-repot menyuap tentara Romawi
sambil menebarkan dusta. Mereka cukup menunjukkan di mana Yesus dikuburkan, bukan?
Jika ada yang mengatakan bahwa Hitler juga memiliki banyak pengikut yang berani mati untuknya sama dengan para martir
Kristus, faktanya jauh sekali. Para pengikut Hitler yang berani dan sadis pada saat menjalankan misi Hitler untuk membasmi
orang lain (terutama Yahudi), ternyata semuanya kabur bersembunyi menyelamatkan diri ketika Hitler bunuh diri. Berbeda
dengan para pengikut Yesus, mereka bersembunyi ketika Yesus mati. Akan tetapi, ketika Yesus bangkit, mereka keluar dan
rela mati bagi Tuhan mereka yang telah bangkit.
- Terjadi perubahan
dari “hari Sabat” (Sabtu) ke “hari
Tuhan” (Minggu) sebagai pertemuan ibadat mingguan para murid.
Hari Sabat yang demikian teguh dipegang oleh tradisi Yahudi mengalami perubahan drastis menjadi hari pertama (Minggu),
yaitu hari untuk mengenang kebangkitan Tuhan Yesus. Dalam tiga tahun pelayanan-Nya, Yesus berkali-kali disalahkan oleh pemimpin
agama Yahudi karena dianggap melawan hari Sabat. Namun, faktanya kemudian adalah bahwa umat Kristen tidak lagi menjalankan
hari Sabat segera setelah Yesus bangkit, yang diceritakan di dalam Kisah Para Rasul. Semua itu tentu hanya bisa terjadi karena
fakta sejarah kebangkitan yang nyata secara kasatmata dan meyakinkan.
Meskipun
“kebangkitan Yesus dari kematian” tidak dapat dibuktikan secara memuaskan menurut akal manusia yang terbatas,
setidaknya banyak bukti sosiologis dan sejarah sudah menunjukkan kemungkinan terjadinya kebangkitan secara daging yang dialami
Yesus. Dan, ketika kitab Injil, Kisah Rasul dan Surat-Surat Para Rasul ditulis, masih
banyak saksi mata yang hidup yang meng’aminkan’ berita kebangkitan!
Selamat
Hari Paskah karena Ia telah Bangkit!
Salam kasih dari Sekertari www.yabina.org (ARTIKEL 056/2008)
THE PASSION OF THE CHRIST & THE GOSPEL OF JOHN
Hari-hari sekitar Jumat Agung
dan Minggu Paskah, disalah satu stasiun TV diputar film ‘The Passion of the Christ’ dan ‘The Gospel of John,’
dua film yang dibuat di tahun yang sama yaitu tahun 2003. Film “The Passion
of the Christ disutradarai bintang film tenar
Mel Gibson, film mana mendapat pujian dari penginjil Billy Graham dan juga dari Paus (kemudian diralat oleh Paus melalui sekretarisnya). Film itu bukan saja diputar di gedung
bioskop, melainkan juga di banyak gereja.
Berbeda dengan film-film
yang menceritakan kehidupan Yesus secara lengkap, film The Passion hanya menyoroti pergumulan Yesus sejak di Taman Getsemani selama dua belas jam terakhir hidup-Nya,
yaitu dari Getsemani ke Golgota melalui jalan salib (via dolorosa) yang diselingi beberapa flash back pengalaman
semasa pelayanan Yesus.
Meskipun didukung petinggi Injili dan sesaat didukung petinggi Katolik Roma, film
“The Passion of the Christ banyak dikritik karena bersifat anti-Yahudi dan sarat dengan adegan sadis. Sikap anti Yahudi memang terasa dalam film
ini karena kebencian, kemarahan, bahkan ringan tangannya orang Yahudi bahkan para imam yang memukuli Yesus, dibuat dalam porsi
yang jauh melebihi apa yang dicatat dalam Injil. Misalnya,
sejak di Taman Getsemani, Yesus sudah dibuat babak belur dipukul para imam dengan luka-luka di sekujur tubuh-Nya dan salah satu
mata-Nya lebam. Demikian juga penganiayaan
sampai penyaliban Yesus yang dipaku di salib, peristiwa itu digambarkan dengan
sangat sadis, sampai-sampai
Chicago Sun Times menyebutnya “the most violent film.”
Soal
porsi sadisme yang keterlaluan memang tidak lepas dari sutradara dan pemain yang mampu menjiwainya. Gibson populer terkenal sebagai sutradara dan pemain film action keras, serialnya ‘Mad Max’ diwakili ucapan dalam film itu: “They kill us, we kill them! Kill them!
Kill!” Filmnya ‘Galipoli’ disebut Amazone.com sebagai “This brutally antiwar movie.” Debut sadismenya
dilanjutkan dengan sukses dalam serial ‘Lethal Weapon.’ Belum lagi film-film ‘Braveheart, Ransom, & Patriot’
menunjukkan bakat sadisme Mel yang diluar batas.
Sebenarnya, film “The Passion of the Christ tidak bisa dikatakan
sebagai film yang bersumber pada Alkitab sebab isinya didasarkan vision biarawati Katolik, Maria Agreda dan Anne Katherine
Emmerich yang visiunnya dibukukan sebagai “The Dolorous Passion of Our Lord Jesus.” Selain ada bagian dalam film itu yang menyudutkan orang
Yahudi, banyak juga adegan yang berlawanan dengan data Injil, seperti Iblis yang menjawab doa Yesus di Getsemani, Iblis yang ditampilkan
berkali-kali dan Yudas yang dilempari batu oleh anak-anak yang kesetanan dan disaksikan Iblis, Simon Kireni
mengaku tidak bersalah dan mengaku terpaksa mengangkut salib terhukum; Yesus diolok tentara sebagai ‘king of worms,’ mata penjahat yang disalibkan yang dipatuk burung, dan Mezbah Bait Allah digambarkan terbelah.
Dua jam film itu digunakan untuk menyoroti kesengsaraan Yesus yang berdarah-darah dan hanya tiga puluh detik yang digunakan
untuk menyoroti Yesus yang bangkit. Ketika ditanya mengenai adegan sadis yang keterlaluan, Gibson tidak menjawab tentang kebenaran melainkan mengaku
mendramatisir film itu untuk mendorong penonton sampai “over the edge.”
Tiga pemain film porno dilibatkan Mel dalam film ini. Untuk
membuat film “The Passion of the Christ lebih realistis, peran Maria
Magdalena yang dikesankan sebagai pelacur itu dimainkan bintang film porno, Monica Belluchi. Tepat kritik ‘wayoflife’ yang menyebut film
ini: “intimately associated with the moral vileness of those involved in its production.” Sedangkan Yesus diperankan oleh James Caviezel yang sukses
memerankan tokoh “The Count of Monte Christo” dimana di sana ia memerankan korban fitnahan, kemudian dipenjara 13 tahun dibawah
tanah dipulau terpencil sambil dicambuki setiap tahun, dan akhirnya membalas
dendam kepada semua musuhnya dengan tangan dingin dengan perencanaan matang.
Sayangnya, film “The Passion of the Christ menumbuhkan fanatisme
dari sebagian umat Kristen, yang melebihi cinta mereka terhadap Injil, bahkan mempromosikan
film sadis itu untuk semua umur, sesuatu yang disesalkan oleh banyak umat lainnya.
Padahal, film yang mendatangkan untung luar biasa kepada Gibson itu, uangnya kemudian digunakan untuk membuat film sadis lainnya yang berjudul “Savage” (biadab),
sebuah film keras yang dibintangi David Caradine yang terkenal dalam film serial “Kung Fu” dan film-film sadis lainnya seperti
“Kill Bill”. Dalam salah satu episode film serial Kung Fu yang berjudul “The Deadly Manthis”, Caradine mengkritik orang Kristen ibarat “belalang sembah” yang bersikap berdoa sebelum membunuh. Mel Gibson sendiri sesudah filmnya itu sukses pernah ditangkap polisi karena mabuk dan mengisap narkoba, dan ketika
ditangkap, ia mencaci maki polisi sebagai ‘Yahudi!’
Di sisi lain, wakil perusahaan film itu sendiri sebenarnya mengaku dan berucap bahwa,
“Their promotion to religious leaders as more in the interest of marketing than evangelism, a distinction evangelicals
no longer recognize.” Terry Mattingly pada Film-Forum majalah Christianity Today mengatakan, “I have been fascinating by the lack of critical
voices among conservative Protestants.”
Pada
tahun yang sama (2003) juga dibuat film tentang Injil yang berjudul ‘The Gospel of John.’ Film ini dibuat dengan
setia bahkan secara harfiah mengikuti setiap kata Injil Yohanes menurut ‘Good News Bible’ dan dijuluki: “This
film is a faithful representation of that Gospel.” Dibandingkan film ‘The Passion’ yang banyak mengambil
sumber non-biblical seperti visiun dan ungkapan jiwa sadistik pembuatnya, film ‘The Gospel of John’ setia pada
isi Injil yang ayat-ayatnya dinarasikan oleh Christopher Plummer, pemeran Kapten dalam film ‘The Sound of Music.’
Dua fasal terakhir ‘The Gospel of John’ memberitakan “Yesus yang bangkit” dan Film ini juga dibuat secara profesional pula.
Sayang film ‘The Gospel of John’ yang injili itu jauh kalah populer dengan film ‘The
Passion’ yang apokrifal itu, dan tragis bahwa nyaris pendeta dan penginjil yang mempopulerkan ‘The Passion’
pada umumnya bungkam dengan kehadiran film ‘The Gospel of John.’ Bahkan, film ini nyaris diabaikan dalam kehidupan
gereja dan gereja tidak memborong tiketnya, apalagi memutarnya di gedung gereja mereka. Seperti film “Jesus” dari Campus Crusade for Christ, yang memberitakan Injil Lukas selengkap mungkin, film
“The Gospel of John” juga menggambarkan kehidupan Yesus seperti yang dicatat dalam Injil Yohanes. Film itu sebenarnya
adalah film yang luar biasa, yang benar-benar memberitakan Injil dan diramu menurut sinematografi modern yang apik dan profesional.
Bahkan, film itu nyaris memberitakan secara harfiah seluruh ayat Injil Yohanes.
Banyak
pengkritik menyebut bahwa orang-orang Amerika sekarang sedang sakit karena terlalu banyak disuguhi film-film sinema maupun
TV yang bersifat sadis semacam film laga “Smack Down.” Itulah sebabnya ketika seorang sutradara berjiwa ‘sadis’
membaca peluang itu, ia membuat film ‘drama religi’ yang bertema sadis (penyaliban) dan jadilah film “The
Passion of the Christ” sehingga banyak ditonton orang karena meresonansikan isi hati penonton. Akibatnya ketika ada
film yang lebih berbau Injil seperti ‘The Gospel of John” namun karena ‘tidak keras’ maka film itu
dibiarkan berlalu begitu saja, padahal justru film terakhir inilah yang mencerminkan Injil Tuhan Yesus yang sebenarnya layak
tonton bagi umat manusia segala usia.
Sudah
tiba saatnya umat Kristen menjauhi film-film yang sadistik yang makin merangsang
rasa sadisme yang terpendam dalam hati dan mulai membuka diri agar
makin peka akan ‘damai sejahtera dan kasih Kristus’ melalui adegan-adegan film yang mereka tonton seperti film
‘The Gospel of John’ karena itulah berita ‘kabar baik
Injil’ yang sebenarnya. Rasul Yohanes, penulis ‘The
Gospel of John’ yang semula berperilaku sebagai ‘anak guruh’ itu, setelah bertemu Yesus disebut sebagai ‘Rasul
Kasih.’
Salam kasih
dari Sekertari www.yabina.org (ARTIKEL 057/2008)
 |